Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Asal Usul Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai Warisan Dunia, Keraton Jadi Poros Utama

Salsyabila Sukmaningrum , Jurnalis-Kamis, 21 September 2023 |11:56 WIB
Asal Usul Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai Warisan Dunia, Keraton Jadi Poros Utama
Sumbu filosofi Yogyakarta ditetapkan sebagai warisan budaya oleh UNESCO (Foto: Kemendikbudristek/UNESCO)
A
A
A

JAKARTA - Makna Sumbu Filosofi Yogyakarta yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan dunia perlu kamu ketahui. Keputusan tersebut dinyatakan oleh UNESCO dalam Sidang Komite Warisan Dunia UNESCO di Riyadh, Arab Saudi, pada Senin (18/9/2023).

Sumbu Filosofi Yogyakarta adalah konsep tata ruang yang dibuat berdasarkan konsepsi Jawa oleh raja pertama Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I. Sumbu Filosofi Yogyakarta ini mulai dibangun pada abad ke 18, tepatnya tahun 1755. Sumbu filosofi ini merujuk sumbu (garis) imajiner yang membentang dari selatan ke utara wilayah Yogyakarta, dengan Laut Selatan dan Gunung Merapi sebagai poros. Keraton Yogyakarta dibangun di tengah-tengah Laut Selatan dan Gunung Merapi dan pembangunannya dipilih dekat dengan sumber mata air Umbul Pacethokan.

Poros bentang alam antara Laut Selatan di selatan dan Gunung Merapi di utara sebenarnya tidak benar-benar membentang secara garis lurus. Maka dari itu, poros tersebut disebut sebagai poros imajiner dikutip dari berbagai sumber, Kamis (21/9/2023).

Keraton Yogyakarta Jadi Poros Utama

Sumbu filosofi yang benar-benar nyata jika ditarik secara lurus meliputi Keraton Yogyakarta sebagai poros utamanya. Kemudian juga terdapat Tugu Golong-Gilig (Pal Putih) di sisi utara keraton, dan Panggung Krapyak di sisi selatannya. Jika dimaknai, ini menggambarkan perjalanan siklus hidup manusia berdasarkan konsepsi Sangkan Paraning Dumadi.

 BACA JUGA:

Perjalanan dari Panggung Krapyak menuju keraton mewakili konsep sangkan (asal) dan proses pendewasaan manusia. Perjalanan manusia sejak dilahirkan dari rahim ibu, beranjak dewasa, menikah sampai melahirkan anak (sangkaning dumadi).

Sementara perjalanan dari Tugu Golong-Gilig menuju ke keraton mewakili filosofi paran (tujuan), yaitu perjalanan manusia menuju Penciptanya.Hal tersebut ditunjukkan dengan menyembah Tuhan Yang Maha Esa secara tulus yang disertai dengan tekad menuju kesejahteraan rakyat (golong-gilig) didasari hati yang suci (warna putih).

Halaman:
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita edukasi lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement